Senin, 26 September 2011

KISAS YANG TIDAK KISASI

KISAS YANG TIDAK KISASI
Masdar Farid Mas’udi Rais Syuriah PBNU

Secara harfiah qishash (kisas) berarti pembalasan setimpal, utang nyawa dibayar nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dibayar luka yang sama (QS Al Maidah 45)
Pola hukuman kisas pertama kali diperkenalkan Kitab Perjanjian Lama untuk umat Yahudi, diteruskan oleh umat Kristiani dan selanjutnya diadopsi oleh Umat Islam, melalui kitab sucinya, Alquran. Tujuannya untuk menggantikan pola hukuman yang lama yang penuh dendam kesumat dan menganut kaidah : “Pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan”. Hukum kisas berfungsi mereformasi pola hukuman yang tidak adil dan berlebihan itu.

OBYEKTIF VS INTERPRETATIF
Namun, persoalan utama di jagat hokum, selalu bukan pada teks normative ataupun sumbernya. Ketentuan hokum dari kitab suci atau lembaga demokrasi yang dijunjung tinggi akan kehilangan martabat manakala pelaksanaannya jatuh ke tangan aparat penegak hokum yang hatinya berdaki. Norma hokum adalah ketentuan normative yang bersifat obyektif, sementara penerapannya selalu bersifat interpretative dan subyektif. Tentu saja puncak malapetaka adalah jika secara normative ketentuan hukumnya sendiri sudah cacat, sementara hakim dan segenap aparat penegaknya juga berasal dari jajaran manusia yang tidak bermartabat.
Dalam teori ataupun tradisi hokum islam, tidak semua aksi pembunuhan atau pencederaan fisik dihukum dengan kisas. Hanya pembunuhan dan pencederaan yang dilakukan secara sengaja (al amd) dan tanpa hak (dhulman) yang boleh di hokum dengan kisas.
Misalnya, pembunuhan oleh perampok, pembunuh maniak, atau pembunuhan serampangan oleh teroris. Pembunuhan atau penghilangan nyawa secara tak sengaja (salah tembak oleh aparat, misalnya) atau dalam rangka mempertahankan diri tidak dikenai kisas. Pertanyaannya, termasuk kategori manakah pembunuhan yang dilakukan para TKI kita?.
Dari berbagai segi, tidaklah masuk akal kalau dikatakan pembunuhan oleh TKI kita terhadap majikan atau keluarganya dilakukan secara sengaja dan semata-mata dengan niat menghilangkan nyawa seperti dilakukan oleh para teroris, perampok, atau pembunuh maniak berdarah dingin.
Mereka adalah orang-orang susah yang sengaja pergi jauh mengadu nasib dengan satu tujuan yang sangat sederhana tetapi mulia, mencari nafkah buat keluarga yang susah didapat di negerinya sendiri. Untuk itu mereka telah ikhlas menanggung pengorbanan luar biasa, dengan meninggalkan anak dan suami atau istri serta kampong halaman yang dicintainya. Tak bisa dibantah pembunuhan yang dilakukan oleh TKI kita apalagi TKI perempuan berlangsung dalam keterpaksaan dan tekana batin yang luar biasa. Dalam rangka membela diri atas kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh majikan dan/atau keluarganya terhadap mereka. Fakta ini mutawattir, tak terbantahkan.
Maka ketika hakim atau pengadilan setempat menghukum TKI kita dengan kisas mati, jelas tak adil, tak setara, dan tak bisa diterima. Katakanlah pembunuhan yang dilakukan TKI kita harus dibayar dengan kisas pembunuhan atas jiwa mereka. Pertanyaannya, mana hukuman dari pengadilan setempat terhadap sang majikan sebagai ganjaran atas serentetan kezaliman yang dilakukan terhadap TKI Kita. Kenapa kezaliman-kezaliman pihak majikan diabaikan begitu saja oleh hakim, tidak pernah ada tuntutan balasannya?

ADA KETIDAKADILAN
Dengan pola hukuman seperti ini, jelas ada ketidakadilan yang menusuk hati. TKI kita menderita dua hal: pertama, rentetan kezaliman demi kezaliman yang dilakukan oleh majikan; kedua, pembunuhan atas nama kisas yang ditimpakan pengadilan. Sebaliknya majikan hanya menerima satu hal, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh TKI kita yang notabene terjadi karena tekanan kezaliman sang majikan. Dengan kata lain, majikan menerima satu derita (pembunuhan oleh TKI kita), sementara TKI kita memikul dua derita: pembunuhan atas nama kisas dan serentetan kezaliman dari majikan. Jelas ini tidak adil, tidak sesuai prinsip kesetimpalan yang justru hendak ditegakkan dengan hokum kisas. Dengan kata lain, hokum kisas yang ditegakkan dengan tidak “kisasi”.
Rasulullah SAW bersabda, “hindarilah hudud (hukuman mati, potong tangan, rajam atau cambuk) semampu mungkin manakala disana ada celah untuk menghindar. Salah dalam memberikan ampunan adalah lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.
Hadits di atas telah menjadi kaidah hokum acara oleh semua mazhab fikih islam. Ini karena sekali leher dipancung, tangan telah dipotong, lemparan batu panas sudah dirajam tidak mungkin bisa direvisi lagi.
Khalifah Umar RA pernah menganulir hokum potong tangan atas seorang budak yang mencuri unta untuk dimakan bersama teman-temannya karena sang majikan membiarkan mereka dalam kelaparan. Sebaliknya sang majikan yang justru diwajibkan untuk mengganti unta yang dicuri oleh budaknya tadi.
Sejalan dengan pesan moral hadist tadi, bisa dipahami bahwa masyarakat beradab lebih condong pada hukuman dalam bentuk lain. Dengan demikian jika terjadi kesalahan, masih ada ruang untuk memperbaiki. Misalnya, hukuman denda, sita kekayaan, kurungan, atau kerja social yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Hal ini sama sekali tidak menyalahai hukum agama manapun dan dalam kadar apapun.
Adalah keliru kalau sampai ada anggapan bahwa semakin banyak leher yang ditebas, semakin banyak tangan yang dipotong, semakin banyak batu-batu panas dirajamkan, semakin islami pula masyarakat atau bangsa bersangkutang. Masyarakat islami yang sejati justru adalah masyarakat yang sedikit mungkin menghukum orang. Hal ini bukan karena hukum tidak ditegakkan, melainkan karena sedikitnya jumlah orang yang bernafsu melakukan kejahatan.
Bagaimana mencapai keadaan ideal ini? Menurut saya, hanya ada satu jalan: keteladanan luhur dari para pemimpin yang di atas serta kesejahteraan segenap rakyat yang ada di bawah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar